Halaman

0

Tentang Perempuan Hujan


‘Bombat.. bombat.. bombat..’

Jari tengah dan telunjuk laki-laki itu membentuk kaki yang sengaja gerak jalan dari atas lengan perlahan turun ke pinggang si gadis kecilnya. Gadis kecil yang tengah pulas merasa kegelian. Menyipitkan pandangan matanya, terbangun sambil terkikik pelan.

“Dad..”,panggil gadis kecil belum sepenuhnya tersadar dari tidur siangnya.

‘sSsstt..’ laki-laki yang di panggilnya Dad itupun memberi tanda pada si gadis kecil agar tidak bersuara.

Gadis kecil langsung melirik sosok wanita di sampingnya, Mom. Wanita yang beberapa jam lalu mengantarnya terlelap.

***

Gadis kecil itu aku.

Ketika itu umurku baru 7 tahun.

Ini keseharianku : sepulang sekolah - berganti baju rumah - makan - lalu tidur siang. Kadang kalau aku berhasil kabur (biasanya Mom sedang di dapur) aku akan berlari ke rumah tetangga yang waktu itu teman sekelasku. Bermain di sana sampai Mom sadar aku menghilang lalu menjemputku pulang.

Tidak dengan siang ini.

Suatu siang yang akan selalu kunanti-nanti jika musim itu datang.

***

Dad membalikkan badannya, menawarkan punggungnya untuk ku tunggangi.

Dengan perlahan setengah melompat aku berpindah ke punggung Dad.

Berusaha tidak membuat suara yang sekiranya bisa membangunkan Mom.

Beberapa langkah Dad mengendap menuju pintu sedang Mom masih terlihat tidur pulas, paling hanya sesekali menggeserkan tubuhnya mencari posisi tidur yang lebih nyaman.

Yes! Kami berhasil keluar dari ruang kamar Mom. Dad tetap berhati-hati menutup lagi daun pintu kamar Mom.

Dad dan aku terkikik geli merasa berhasil mengelabuhi Mom.

Aku menyandarkan kepalaku di pundak dad. Aku masih merasa lemas. Dad menggendongku, membawaku ke teras rumah.

`‘Bombat.. bombat.. bombat..’ seperti sedang merapal mantra setiap langkah Dad tak henti ku sebut kata itu. Kata yang tidak pernah aku tahu artinya. Yang aku tahu melalui mantra itu kedekatanku dengan Dad terjalin begitu indahnya.

Dad duduk memangkuku di teras rumah. Mendekapku sambil bersenandung merdu. Dapak ku cium aroma wangi parfume dan asap rokok yang tersisa melekat di kemeja Dad. Kami duduk seperti sedang menunggu sesuatu.

Siang itu Dad menyempatkan diri pulang lebih awal dari bekerja.

Entah apa yang sedang ada dalam benaknya.

Aku tidak terlalu peduli, mungkin karena sekarang aku tengah nyaman dalam pangkuannya.

Siang itu tidak terik. Matahari tetap hadir bahkan menyaksikan kami dari balik awan-awan yang sedang berarak tertiup angin.

Angin siang itu terasa basah menerpaku. Setiap hembusannya seperti terkandung bulir-bulir air.

Udara semakin sejuk dibuatnya. Awan mulai gelap.

Bukan hari nya yang semakin senja tapi kawanan awan mendung itu sedang hadir berkunjung.

Aku melihat Dad sedang menghirup udara itu dalam-dalam. Aku pun langsung melakukan hal yang sama bahkan ku ikuti gerakannya.

Dad tersenyum ke arahku.

“Wangi rumput mulai basah”, bisikmu menerjemahkan aroma yang kelak akan selalu ku rindukan.

Aroma yang menenangkan seolah melengkapi dekap nyaman Dad.

Rintik hujan mulai turun. Syahdu kudengar. Angin dan dingin menelusupi tubuh kami.

Dari kejauhan hentakan petir terdengar menyambar, memberi tanda bahwa musim di tahun ke tujuh ku telah di mulai, November.

Aku tetap tenang dalam dekapan Dad yang seolah selalu ingin melindungiku.

“Sebentar lagi waktunya.” bisik Dad lagi, langsung kusambut dengan senyum.

“Boleh Dad?”, nadaku bersemangat.

“Sampai sebelum Mom mu terbangun tentunya..”, ucap dad sambil mengangguk memberiku ijin.

Hujan semakin deras mengguyur kota kecil tempatku tinggal.

Dad menurunkanku dari pangkuannya. Aku langsung berhambur ke arah dari mana hujan itu berasal.

Aku tergelak kegirangan dibawah hujan.

Sedang mata Dad tetap mengawasi keceriaanku siang itu.

Dad mengulurkan payung kecil berwarna hijau kesayanganku.

Aku bersenandung menyambut datangnya hujan.

Aku menari sambil memutar-putar payung.

Kali ini ku bebaskan payung dari tugasnya melindungiku dari hujan.

Bahkan ku biarkan payung itu tergeletak menengadah menampung air hujan bak mangkuk raksasa.

“Daad ayoo..”, ajakku sambil menciprat-cipratkan air dari mangkuk raksasaku ke arah Dad.

Dad yang tengah membuatkanku perahu dari kertas Koran di dekatnya tergelak kaget lalu berusaha menghindar dari seranganku.

Aku tidak begitu saja menyerah. Kutampung lagi air banyak-banyak dalam mangkuk raksasa.

Ku serang lagi Dad yang tengah menyelesaikan perahunya. Merasa tidak mau kalah Dad lalu beranjak mengambil selang, memasang ke kran air dekat ruang garasi. Menyemprotku tanpa ampun. Aku tergelak, terduduk kewalahan menghadapi serangan senjata Dad yang lebih canggih. Ku putar otak, ku ambil payung yang kali ini tak lagi berfungsi sebagai mangkuk raksasa tapi sebagai Tameng! Hahaha.. Dad berdecak atas strategi yang ku gunakan.

Tak terasa siangku beranjak sore. Sebelum menyudahi perang air sore itu dad menghadiahiku sebuah perahu kertas buatannya. Ku raih untuk ku hanyutkan. Dad membukakan pagar bercat hitam dan tinggi untukku. Akhirnya Dad pun kehujanan, aku terkikik senang melihat sekarang kemeja Dad sama basahnya dengan bajuku.

Sebuah saluran air tidak begitu lebar tapi cukup untuk menghayutkan perahuku disana. Ku bebaskan perahu itu hanyut terbawa arus. Kuucapkan selamat tinggal sebelum Dad membawaku masuk.

Benar saja setelah perahu jauh berlayar Dad mengangkatku, menggendong membawaku masuk ke dalam rumah. Aku langsung dibawa nya ke kamar mandi. Bukan perkerjaan sulit bagi Dad untuk melepas baju dan memandikanku. Dad lebih biasa melakukannya ketimbang Mom, bukan karena Mom tidak bisa tapi semata karena Mom harus bekerja diluar kota kecil kami. Terkadang seminggu atau dua minggu sekali baru kembali pulang.

Langkah kaki Mom terdengar menuju dapur. Letak dapur bersebelahan dengan kamar mandi.

“Tumben sudah mandi sayang.. “, sapa Mom tersenyum melihat Dad sedang memandikanku.

Aku dan Dad saling berpandang, kami kembali terkikik seolah hanya kami berdua saja yang punya sebuah rahasia.

Mata Mom tertuju pada seonggok bajuku yang sudah basah. Melihatnya Mom hanya menggeleng kepala, meraih bajuku lalu memasukkannya ke dalam mesin cuci. Rahasiaku dan Dad terbongkar. Belum lagi Mom melihat ada jejak langkah kaki yang membasahi lantai rumah.

Berbalut handuk besar milik Dad aku berlari kecil, berjalan menepi melewati Mom yang sedang mengepel lantai. Sementara bergantian sekarang Dad yang mandi.

Mom mengambilkan handuk baru untuk Dad lalu menyiapkan teh hangat dan makanan kecil untuk sore kami.

“Jangan sering-sering di ajak hujan-hujan..”, kudengar sayup dari balik dinding kamar tempat aku berganti baju. Mom sedang berbicara lembut pada Dad.

‘Rahasiaku dan Dad benar-benar terbongkar.’ Bathinku kecewa.

“Jangan khawatir tentang sakit. Justru ini supaya daya tahan tubuhnya kuat. Besok kalau pulang sekolah tiba-tiba gerimis, badannya sudah tidak kaget lagi. Biarkan dia bertahan dengan segala keadaan.”, ucap Dad mengerutkan kening Mom.

“Buatkan dia susu hangat, saya mau anak saya kuat dan mampu bertahan” tambah Dad lagi.

Dad menyusulku ke kamar. Aku sudah berganti baju duduk manis di tempat tidurku.

“Mom marah?”, tanyaku khawatir.

Dad menggelengkan kepalanya lalu tersenyum ke arahku. “Mom sayang..” bisik Dad memelukku.

***

Kini aku sudah beranjak dewasa, 16 tahun sudah berlalu.

Telah banyak waktu yang aku lewati, telah banyak pula kenangan tercipta.

Sekarang aku disini, duduk sendiri di bukit jauh dari keriuhan kota.

Aku yang sedari tadi tengah menunggu aroma itu hadir kembali.

Wangi rumput yang mulai basah dan hembusan angin dengan bulir-bulir air lembut.

Suatu ketenangan yang aku butuhkan.

Untuk seorang kesepian.

Untukku seorang kesakitan, sepertiku.

“Biasanya hujan gunung cuma 10 menit”, tiba-tiba kamu datang lalu duduk disampingku.

Seseorang yang entah sejak kapan kamu mengawasiku.

“Aku akan mendengarkan jika kamu butuh teman untuk bercerita, tapi aku akan diam jika kamu butuh teman untuk menemani saat kamu tak ingin bercerita.”, ucapmu sambil tersenyum ke arahku.

Aku membalas senyummu. Meskipun banyak pertanyaan dalam benak yang ingin ku tanyakan seperti ‘Untuk apa kamu berada disini? atau sejak kapan kamu mengikutiku?’ tapi aku memilih diam dan membiarkan kamu menemaniku dalam diam.

Ini membuatku jauh lebih nyaman. Ternyata aku bukan seorang kesepian.

Sekarang ada kamu yang menemani aku, seorang kesakitan.

***

Tidak membutuhkan waktu yang lama sampai aroma itu datang.

Aku menghirup udara dalam-dalam.

“Dia datang..”, aku membisikkan kalimat pertamaku padamu sore itu.

Hujan pertama di awal musim, November ke 23 ku.

Aku berlari kecil kegirangan mencari tanah datar. Berbaring terlentang menghadap langit.

Kubiarkan air menghujaniku. Hanya dengan cara ini aku merasa segala kesakitanku luruh.

Air hujan menelanjangi kesakitanku, aku melihat si sakit kini pergi bersama air.

Hanyut mengalir menjauhiku. Aku merasakan sebuah ketenangan.

Perasaanku lebih baik sekarang.

Sesaat aku baru sadar kamu tengah duduk meringkuk disamping tempatku berbaring.

Tubuhmu menggigil kedinginan. Aku terduduk memandangmu. Kamu tersenyum pucat.

Khawatir kamu sakit aku langsung membungkus badanmu dengan jaketku.

“Jangan-jangan.. kamu saja yang pakai..”, tolakmu malu.

“Kamu yang lebih perlu. Lihat badanmu menggigil kedinginan sementara aku tidak.” ucapku sombong.

“Aku malu.. Aku kan laki-laki, seharusnya aku yang jagain kamu bukan kamu yang jagain aku kayak gini..”, gerutumu kesal pada dirimu sendiri. Kalimatmu tadi membuatku tergelak.

“Kamu ga perlu malu kan ga ada satupun yang tau. Jadi anggap saja sekarang aku sedang menyimpan rahasia besar tentangmu.” Tawaku kembali meledak.

“Terus aja ngeledek aku..”, ucapmu merajuk masih terus menggigil.

“haha.. iya-iya udahan deh ngeledeknya.”

“Kamu lebih cantik tersenyum ketimbang murung.” ucapmu memandangku.

Aku mengalihkan pandangan ke arah jam ku.

“Prediksimu salah tentang hujan gunung. Sebaiknya kita pulang sekarang sepertinya hujan gunung ga baik buat kamu”, kataku kembali terkekeh meledekmu.

“Aarggh.. awas kamu ya tunggu pembalasanku.”, katamu geram, mengejarku yang berlari pergi.

***

“Sayangg.. di minum dulu susu hangat nya..”, ucap Mom keluar menyuguhkan susu coklat hangat .

Kamu yang mengantarkanku pulang. Kupaksa mampir untuk sekedar menikmati susu coklat buatan Mom sambil menunggu langit kembali teduh.

“Hey perempuan hujanku dari mana saja kamu?” sapa Dad mengacak-acak rambutku lalu memberikan dua handuk untuk kami.

“Dari merasakan hujan gunung Dad..”, jawabku melirik ke arahmu.

Kami terkikik, Dad tersenyum mendengar jawabku sedang Mom masih sama dengan 16 tahun yang lalu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Sore itu kami habiskan bersama sampai akhirnya kamu berpamit pulang.

Ku ucapkan terimakasihku untukmu sambil tak lupa berjanji akan menjaga rahasia besarmu.

Pertemuan kita sore itu ditutup dengan bertukar senyum.

***

Aku masuk ke dalam untuk segera mandi.

Dad memandangku sambil tersyum-senyum sendiri.

“Dad? Apa ada yang aneh?”, tanyaku keheranan.

“Oh engga..Jadi sekarang bagaimana perasaanmu?”, tanya Dad menyelidik, masih saja tersenyum-senyum melihatku.

“Perasaanku? Lebih baik tentunya.” Jawabku sambil berlalu pergi menuju kamar mandi.

“Moom.. tidakkah kamu lihat sayang? Senyum perempuan hujan kita hari ini bahkan lebih indah dari pelangi.”, teriak Dad pada Mom yang sedang di dapur. Oh aku mendengarnya Dad.

‘’Aku akan bertahan sekalipun badai hujan datang, Aku akan tegar berjuang sekalipun kesakitan itu menyerang, Dan ketika nyanyian rintik itu mereda, akan selalu ku lukis pelangi untukmu, Dad..’ janji perempuan hujan dalam hati.

Persembahanku untuk Dad ‘n Mom..

Untuk segenap cinta, peluh dan doamu.

Trimakasih telah mendampingiku tumbuh.

I love you.. ^_^

Yogyakarta, 24 Oktober 2009 / 16:27

::Sambil tengah mendengarkan nyanyian hujan dari balik jendela kamarku,

Hujan pertama di jogja mengawali musimku, November ke 23. ::

-Perempuan hujan-

0 komentar:

Back to Top